Soe Hok Gie : Demonstran dan Pecinta Alam*

"Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di pasifik. Kira-kira pada umur lima tahun saya masuk sekolah di Sin Hwa School. Baru saja dua tahun saya pindah ke gang Komandan. Terus saya naik walaupun dari kelas dua kekelas tiga dan dari kelas tiga ke kelas empat saya dicoba. Pada tanggal 1 Desember 1954 saya pindah ke jalan pembangunan sore. . . " (Catatan Seorang Demonstran,hlm. 58)
       Demikian cuplikan tulisan Soe Hok-Gie di awal buku hariannya. Soe Hok-Gie yang keturunan cina merupakan anak keempat dari lima bersaudara pasangan Soe Lie Pit (ayahnya seorang novelis) dengan Nio Hoe An. Arief Budiman atau Soe Hok Djin merupakan salah satu kakak Gie, bersama Gie yang juga aktivis mahasiswa angkatan '66 yang dikenal vokal di era orde lama. Soe Hok-Gie merupakan zmahasiswa Fakultas  Sastra Universitas Indonesia jurusan Sejarah di tahun 1962-1969. Ia dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang berani, tegas dan idealis. Gie dikenal karena ia rajin mendokumentasikan kehidupan dan gagasannya ke dalam buku harian, yang akhirnya pada tahun 1983 buku harian Gie diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul "Catatan Seorang Demonstran". Selain itu Gie dikenal sebagai penulis di media massa seperti kompas, harian KAMI, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia dan Indonesia Raya. Hasil gagasan dan karyanya dalam tulisan diterbitkan dan dibukukan menjadi sebuah buku dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).  

         Setelah tamat SD, Hok-Gie melanjutkan ke SMP Strada di daerah Gambir. di kelas 2 SMP, Hok-Gie sempat mendapatkan nilai buruk dan diharuskan untuk mengulang, tapi Gie tidak mau mengulang karena merasa diperlakukan tidak adil oleh gurunya yang sering ia kritik saat mata pelajarannya. “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”  ungkapan tersebut yang dikatakan gie saat dia diharuskan untuk mengulang, tapi gie menolak mengulang dan minta untuk pindah sekolah. Akhirnya sebuah sekolah SMP kristen protestan di jakarta mau menerimanya sebagai murid kelas 3, tanpa harus mengulang.

        Setelah tamat SMP, Gie melanjutkan sekolahnya di SMA Kanisius Jakarta jurusan Sastra. Di SMA lah Gie semakin mengenal dan menggemari dunia sastra yang mengantarkannya mendalami ilmu sejarah. suatu ketika Gie di jalan bertemu dengan seorang (bukan pengemis) sedang memakan kulit buah mangga karena dia kelaparan. lalu seperti apa yang ditulis di buku hariannya, "Ya, dua kilometer dari pemakan kulit, 'paduka' kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik." Tentunya dia sadar sebagai generasi muda dia bangga dengan kondisi yang seperti itu. “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, seperti…Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia”. Gie tidak tanggung - tanggung berani menunjuk hidung-hidung para pemimpin negara waktu itu dengan menulis hujatannya kepada para bapak pendiri bangsa (founding fathers) yang dinilai sebagai dalang dibalik kekacauan dan kondisi bangsa ini yang kian memburuk."Mereka Generasi tua . . . semuanya pemimpin-pemimpin yang harus ditembak dilapangan banteng." (Catatan Seorang Demonstran, hlm. 69)

         Setelah menamatkan Sekolahnya di SMA kanisius, Gie melanjutkan studinya di Fakultas Sastra jurusan sejarah Universitas Indonesia. Sedangkan kakaknya Arief Budiman, setahun sebelumnya sudah melanjutkan studinya di jurusan Psikologi Universitas Indonesia. Di masa menjadi mahasiswa ini Gie mulai dikenal di dunia pergerakan dan aktifitas kemahasiswaan hingga saat ini dikarenakan sikap dan tindakannya yang tegas, berani dan idealis tanpa kompromi dengan pihak manapun. Gie bersama kawan - kawannya sesama generasi angkatan 66 seperti akbar tanjung, cosmas batubara, herman lantang dan lain - lain berhasil meruntuhkan rezim orde lama yang korup. lewat orasi dan propagandanya, Gie berhasil menggerakkan mahasiswa pada waktu itu untuk Aksi "turun ke jalan" demi meruntuhkan rezim orde lama yang diyakini sebagai awal kehancuran bangsa indonesia. Setelah runtuhnya rezim orde lama, kebanyakan mahasiswa angkatan 66 menempati posisi strategis dalam pemerintahan orde baru  tetapi tidak dengan Gie dia memilih untuk tidak ikut menempati lingkar kekuasaan era orde baru dan lebih memilih menjadi oposisi pemerintah pada saat itu, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan", ujarnya seperti yang ditulis dalam catatan hariannya. 

           Selain itu lewat tulisan-tulisannya yang lugas dan mengkritik tajam pemerintahan orde lama waktu itu memberikan gambaran secara jelas dan gamblang terhadap masyarakat akan kondisi bangsa yang semakin kacau. Seperti yang tertulis dalam suratnya kepada Ben Anderson, teman dekat Gie yang sekarang menjadi pakar politik Indonesia "Saya merasa semua yang saya tulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan saya ingin mengisi semuanya dengan bom !". Pada akhirnya kumpulan Artikel yang dia tulis benar-benar menjadi "petasan" yang dijadikan panduan dan referensi mahasiswa angkatan 80an dan 90an pada saat itu, petasan itu pun berubah menjadi bom yang meledak dashyat di peristiwa Malari pada tahun 1974 dan 1998 pada saat runtuhnya rezim orde baru dan berganti era reformasi. Selain itu rutinitas Gie yang lain adalah mendaki gunung, dia salah satu orang yang mendirikan MAPALA FSUI (Mahasiswa Pencinta Alam Fakultas Sastra Universitas Indonesia) bersama Maulana, Koy Gandasuteja, Amin Sumardji, Ratnaesih, dan Edhi Wuryantoro pada tahun 1964. organisasi ini bertujuan agar mahasiswa FSUI yang senang berkeluyuran ke alam untuk mengenal lebih dekat tanah airnya dapat terwadahi. seperti yang dikatakan Gie, “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung". Organisasi ini pertama kali di resmikan di bukit ciampea yang diikuti sekitar 30 orang peserta. Pada akhirnya MAPALA FSUI berubah nama menjadi MAPALA UI di tahun 1970 untuk mempersatukan organisasi-organisasi pencinta alam yang ada di UI. Gunung Pangrango,Slamet, Mandalawangi, Gunung Semeru dan gunung - gunung lain di pulau jawa pernah di daki oleh Gie dan kawan-kawannya. 

         Di tahun 1968 ia berkeliling ke negara Amerika dan Australia, dan di tahun 1969 ia lulus dan melanjutkan menjadi dosen di Universitas Indonesia. Di akhir dia menyandang status mahasiswanya, pada tanggal 13 Mei 1969, Gie sempat menulis artikel "Mimpi-mimpi terakhir seorang Mahasiswa tua." Dalam artikel Gie tersebut dia menyebutkan:
"… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi."
Mungkin apa yang ditulis Gie sangat relevan dengan kondisi sekarang ini, kebanyakan kondisi mahasiswa seperti itu, Merintih kalau ditekan, tetapi menindas ketika berkuasa mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan organisasi.

     
          Dan pada akhirnya di minggu dimana dia akan merayakan ulang tahunnya ke 27, Gie bersama kawannya Herman Lantang, Abdurrahman, Anton Wijana dan kedua "adik"nya yang bukan berasal dari kampus UI, Idhan Lubis dan Freddy Lasut mendaki gunung semeru dataran tertinggi di pulau jawa. Di pendakian ke Gunung Semeru menjadi pendakian terakhir Gie, ia bersama Idhan Lubis meninggal dunia tepat di tanggal 16 September 1969 satu hari sebelum hari ulang tahunnya ke 27 dikarenakan menghisap gas beracun yang dikeluarkan oleh gunung semeru. Gie pun menghembuskan nafas terakhirnya di puncak mahameru daratan setinggi 3.676 di atas permukaan laut, daratan tertinggi di pulau jawa, Puncak bersemayam para dewa. Kenangan, impian, harapan dan romantisme perjuangan Gie akan mencintai bangsa ini tidak akan pernah hilang dan tenggelam bersama keindahan dan kemegahan gunung semeru, puncak para dewa.

Angga Firmansyah
Matematika ITS 2011

*Tulisan ini diterbitkan di buletin SUPERMASI (Suara Perjuangan Mahasiswa ITS)
UKM LPM Satu Kosong ITS Edisi ke-4 Bulan September 2013 hlm. 10-11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram