Biaya pendidikan, tanggung jawab siapa?


Pendidikan adalah sebuah proses terorganisir untuk memahami suatu ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Dalam prakteknya, kata ‘pendidikan’ sulit untuk dipisahkan dari institusi sekolah, termasuk di dalamnya perguruan tinggi. Karena tiap jenjang pendidikan mewajibkan peserta didik untuk memiliki bukti tertulis atas hasil belajarnya selama periode sekolah, dalam bentuk ijazah, rapor, dan transkrip. Tanpa bukti tertulis tersebut, sulit untuk para peserta didik untuk masuk ke dunia kerja. Sementara itu, dari tahun ke tahun sistem pendidikan di Indonesia tidak menunjukkan perbaikan yang berarti. Cenderung mengikuti perubahan tampuk kepemimpinan, kurikulum berubah begitu cepat sekedar untuk memperlihatkan kinerja pejabat institusi pendidikan yang menyusun sistem tersebut. Korban jatuh begitu banyak akibat cacatnya sistem di negeri kita. Para pelajar merasa masa depannya suram karena tidak memegang surat tanda kelulusan, bahkan beberapa memilih untuk bunuh diri. Standarisasi membingungkan dan menyebarkan ketakutan; yang tentu saja menghantui aktifitas pelajar untuk menyerap ilmunya, disertai dengan kenaikan biaya pendidikan di sekolah-sekolah negeri yang begitu tidak manusiawi.

Pertanyaannya, biaya pendidikan sebenarnya tanggung jawab siapa? Benarkah pendidikan merupakan barang tersier yang tergolong mewah, yang harus jadi tanggung jawab penuh pihak pelaku didik? Atau pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah terhadap warga negara yang harus dijamin keberlangsungannya?

Mari kita kaji lebih dalam tentang tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan. Dalam Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pendidikan dijamin oleh negara. Kenapa pendidikan begitu penting? Karena dengan mengenyam pendidikan, seseorang memiliki kesempatan untuk mengubah kesejahteraan diri & keluarganya. Apalagi di dunia kerja saat ini, bukan hanya ijazah yang dijadikan seleksi pegawai baru, namun institusi pendidikan tempat sang calon pegawai diharuskan bonafid, terakreditasi, dan memenuhi standar-standar lainnya. Hal tersebut sama artinya dengan membunuh kesempatan orang-orang yang bersekolah di tempat yang biasa-biasa saja, karena sekolah yang diinginkan oleh perusahaan adalah sekolah-sekolah terstandar yang sangat mahal. Padahal harusnya sekolah-sekolah negeri yang dibiayai oleh negara (menggunakan uang rakyat), memberikan kesempatan lebih bagi warganya yang kurang mampu untuk meningkatkan taraf hidupnya. Beberapa tahun terakhir institusi pendidikan kita sibuk melakukan akreditasi dan standarisasi untuk menuju world class university. Namun ditemukan banyak keanehan di dalam prosesnya. Sekolah-sekolah yang tadinya terkenal berkualitas karena kualitas pengajaran yang baik, tiba-tiba menjadi sekolah yang biaya masuknya tidak terjangkau karena standarisasi tersebut. Mulai dari kelas internasional dengan bahasa pengantar Bahasa Inggris, kewajiban untuk pelajar SMA untuk memiliki laptop, ruangan kelas ber-AC, hingga gedung yang berkeramik mewah dan laboratorium yang semakin lengkap. Namun efek dari semua itu? Biaya masuk SMU di daerah sudah mencapai 8 juta rupiah, jangan ditanya lagi berapa biaya masuk SMU di kota besar. Dengan kondisi desa-desa yang masih sedikit lapangan kerja tersedia, dari mana para orang tua mendapatkan biaya sebesar itu? Benarkan standarisai memang harus berimbas pada biaya pendidikan yang sangat mahal? Jika para siswa akhirnya hanya menjadi lulusan SMP karena mahalnya biaya sekolah di SMU, berapa banyak dari mereka yang mampu menemukan pekerjaan yang memberi penghasilan cukup untuk penghidupan mereka? Dengan UMR yang begitu rendah, ketiadaan lapangan kerja di desa, dan mahalnya biaya sekolah, harus dengan apa masyarakat kita mengusahakan penghidupannya?

Kasus paling hangat yang didiskusikan banyak pihak adalah biaya masuk universitas tahun 2011. ITB mematok biaya mencapai 55 juta rupiah, termasuk SPP sebesar 5 juta rupiah per semester. Beberapa kampus berkualitas yang lain juga mematok biaya yang mahal, meskipun tidak setinggi ITB. Anehnya, kampus-kampus paling mahal di Indonesia adalah kampus negri. Padahal di negri lain, kampus yang prestisius dan biayanya mahal adalah kampus-kampus swasta. Kampus negri dikhususkan untuk warga negara yang kurang mampu, namun berhak mendapatkan pendidikan. Aneh bila fasilitas kampus negri yang dibeli dengan dana negara dari awal didirikannya, digunakan untuk meyelenggarakan pendidikan mahal bagi warganya. Meskipun demikian kesalahan fatal tersebut tidak bisa 100 % ditudingkan pada pihak sekolah & universitas, karena bagaimanapun juga ada tekanan dari peraturan baru yang ditetapkan oleh pihak kementrian pendidikan untuk mengurangi subsidi. ITB saja hanya memperoleh subsidi 20 % dari keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan. Jalur undangan yang dibuka mulai tahun ini, juga sangat rawan korupsi, karena penilaian hanya bergantung pada kepala sekolah  yang  tentu memicu akan terjadi perebutan kursi dengan berbagai cara. Sementara itu, negara menghambur-hamburkan banyak uang untuk membeli mobil dinas mewah, kunjungan luar negeri dan segala protokoler birokrat yang sangat boros. Belum lagi biaya kampanye para pejabat, termasuk presiden dan semua pejabat parpol yang mencapai triliunan rupiah per periode pencalonan. Benarkah memang tidak ada cukup dana untuk sektor pendidikan? Atau prioritas pengalokasian dana di negara kita yang berantakan?

Jika kampus negri kemudian menjadi sibuk menggalang dana, ada beberapa hal yang patut dikhawatirkan, terutama mengenai intervensi kepentingan yang dilakukan oleh perusahaan atau perorangan yang menjadi penyandang dana utama. Kemandirian institusi pendidikan sangatlah penting karena dapat mempengaruhi karakter peserta didik. Saat ini saja para lulusan ITB cenderung hanya memikirkan untuk bekerja di perusahaan minyak, perusahaan tambang, atau di sektor perbankan. Hal ini tidak lepas dari pengaruh perusahaan-perusahaan tersebut dalam pergeseran kurikulum di ITB. Jika demikian, lama kelamaan lulusan perguruan tinggi tidak akan memikirkan lagi tentang berkontribusi bagi masyarakatnya, sehingga negara sama sekali tidak diuntungkan dari proses pendidikan yang dibiayai dengan uang rakyat tersebut. Individu-individu yang sukses karena mampu mengenyam pendidikan di perguruan tinggi akan mencari kekayaan bagi dirinya sendiri, atau diboyong oleh pihak asing untuk bekerja di perusahaan mereka.

Sejauh mana negara mau memikirkan hal-hal seperti tersebut di atas? Sampai kapan kontradiksi sistem pendidikan di negeri kita akan berlangsung? Apakah kesadaran bernegara hanya menjadi tanggung jawab para politisi? Akankah kita sebagai pihak yang mengetahui ada kesalahan tetap bungkam? Jika kondisi ini dibiarkan, dalam 5 tahun ke depan, anak siapa yang mampu bersekolah di negeri ini?

Tulisan dari diskusi Majalah Ganesha  tanggal 18 Februari 2011

oleh Kusumawardati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram