Menyingkap Pintu Kebebasan Mahasiswa*

Fenomena yang berbeda terjadi di tahun kepengurusan organisasi mahasiswa di ITS periode 2013/2014 ini. Fenomena ini tak lain dan tak bukan adalah kebijakan dan keputusan sepihak dari birokrasi ITS terkait hal kaderisasi yang ada di  ITS dengan diadakannnya forum OK2BK (Orientasi Keilmiahan dan Keprofesian Berbasis Kompetensi) pada selasa, 16 Juli 2013 lalu yang awalnya diagendakan dalam bentuk forum diskusi seketika itu juga berubah menjadi forum sosialisasi dari perwakilan ketua jurusan yang disampaikan oleh Dr. Pujo Aji, S.T, M.T yang menjelaskan bahwa masa orientasi mahasiswa baru untuk tahun ini cukup dengan jangka waktu 1 minggu saja. Birokrasi ITS tetap bersikukuh untuk mengadakan OK2BK dengan jangka waktu 1 minggu dengan dalih kaderisasi di ITS yang terjadi selama ini lebih banyak mengandung dampak negatifnya daripada dampak positif yang dibarengi contoh – contoh mahasiswa baru yang tertekan secara psikis dan mental karena ikut pengaderan di ITS. Dan pada akhirnya keputusan sepihak dari birokrasi pun tidak dapat diganggu gugat dan tetap dijalankan oleh seluruh Himpunan  Mahasiswa Jurusan di ITS. OK2BK pun tetap dilaksanakan pada tanggal 2 – 7 September 2013. Lalu bagaimana kabar peraturan dalam OK2BK hari ini ? apakah tiap – tiap Himpunan Mahasiswa Jurusan di ITS mematuhi aturan tersebut sampai saat ini?

Setelah hampir 4 bulan OK2BK dilaksanakan, Seperti yang pernah disampaikan oleh Presiden BEM ITS 2012 – 2013, Zaid Marhi Nugraha pada saat forum OK2BK dengan pihak birokrasi ITS bahwa akan terjadi banyak pelanggaran di lapangan terkait pelaksanaan masa orientasi mahasiswa baru dalam jangka waktu 1 minggu. Hal ini pun benar adanya dalam pelaksanaan peraturan tersebut banyak dari HMJ di ITS tetap melanjutkan kaderisasi di jurusannya, meski ada beberapa HMJ tetap mematuhi aturan tersebut dan atau mengganti metode dari sistem kaderisasi selama ini digantikan dengan hal yang baru dari tahun – tahun sebelumnya setelah OK2BK selesai. HMJ – HMJ yang tetap melaksanakan kaderisasi di jurusannya beralasan bahwa waktu 1 minggu belum cukup untuk mahasiswa baru beradaptasi mengenal lingkungan jurusan . Maka dari itu pihak birokrasi pun “mengencangkan ikat pinggangnya” untuk mengancam memberikan sanksi kepada HMJ – HMJ yang melanggar aturan yang ditetapkan oleh pihak birokrasi. Ancaman sanksi yang diberikan pun beragam, mulai sanksi individual kepada ketua maupun pengurus himpunan seperti pengurangan nilai akademik, skorsing, drop out dan lain – lain maupun sanksi yang langsung diberikan ke pihak HMJ seperti pembekuan HMJ, tidak turunnya dana proker himpunan ataupun tidak diberikannya legalitas kegiatan himpunan dan lain – lain.

Misalnya seperti yang terjadi di HIMASISKAL (Himpunan Mahasiswa Sistem Perkapalan). Dari wawancara tim redaksi LPM Satu Kosong ITS dengan Ketua HIMASISKAL ITS, Muhammad Arif Pradana menjelaskan bahwa kaderisasi di Teknik Sistem Perkapalan setelah OK2BK sampai akhir semester gasal itu vakum tetapi mahasiswa baru diberi penugasan, dari penugasan itu dilihat hasilnya lalu nantinya akan diperbaiki dari kekurangan pada maba tersebut. Januari akan di mulai lagi. Kemudian beberapa waktu lalu birokrasi memproses hasil laporan salah satu maba yang melaporkan hasil cangkrukan antara SC, warga dan maba yang di-upload di grup media sosial maba. Pada akhirnya birokrasi memberikan ancaman sanksi individual dalam konteks akademik seperti dilarang ikut UTS, tidak mau dijadikan dosen pembimbing tugas akhir dan lain – lain.

 “Sampai saat ini kondisi maba jauh dari apa yang di inginkan, baru mencapai 40%. Hasil dari OK2BK sendiri hanya sekitar 20% yang mampu diserap oleh maba.”, tegasnya. “Dulu ada ancaman skorsing namun sekarang tidak ada kok kalau sanksi akademik saat ini belum ada, Kajurku pernah mengancam maba kena sanksi akademik  kalau ikut pengaderan”, tutup Arif. Selain itu ada wacana di tahun depan birokrasi akan mengkaji ulang AD/ART himpunan, menurut sumber dari salah satu mahasiswa teknik Sistem Perkapalan. Usaha birokrasi ini seolah – olah menutup serapat – rapatnya pintu mahasiswa untuk terus melanjutkan sistem kaderisasi di ITS selama ini.
Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di jurusan Statistika. Dari hasil wawancara tim redaksi LPM Satu Kosong ITS dengan ketua departemen dalam negeri HIMASTA ITS, Ilafi Andalita menjelaskan berawal dari melanggar peraturan OK2BK akhirnya Ketua Jurusan meminta AD/ART dari Himpunan yang pada akhirnya meminta pihak himpunan untuk merubah isi AD/ART terkait visi misi, status keanggotaan, jaket himpunan dan nama kaderisasi dan mengancam mengurangi nilai dalam hal akademik bagi pengurus himpunan apabila tetap melanjutkan proses kaderisasi. Pihak birokrasi mengancam apabila tidak merubah AD/ART maka himpunan tidak diberikan legalitas kegiatan, Dana proker, dan izin peminjaman tempat.

“Satu – satunya jalan adalah dengan merubah AD/ART, dari kami sudah beberapa kali melakukan OT (Open Talk-red) terkait hal ini, juga sudah membentuk tim ad-hoc AD/ART dan segera mengadakan MALBW (Musyawarah Akbar Luar Biasa-red) untuk mengamandemen AD/ART”, tuturnya. Menurut Ilafi hal ini dilakukan untuk menyelematkan big event yang diadakan HIMASTA ITS yaitu PRS (Pekan Raya Statistika) 2014 yang sampai wawancara ini berlangsung belum ada kejelasan terkait penyelenggaraan PRS 2014.

Hal yang sama juga terjadi di HM lain yang ada di ITS. Berbagai ancaman sanksi yang disebutkan tadi sebagai senjata andalan birokrasi untuk “mengebiri” mahasiswa yang mengotot tetap melanjutkan kaderisasi. Hal ini terlihat sangat aneh ketika kita melihat tidak ada korelasi antara dua hal kaderisasi dan pengurangan nilai akademik, tidak boleh mengikuti UTS dan lain – lain. Ada lagi ancaman sanksi yang diberikan birokrasi kepada HMJ yang tetap melakukan kaderisasinya seperti tidak diberikannya legalitas kegiatan himpunan, tidak turunnya dana himpunan ataupun tidak diberikannya izin untuk peminjaman tempat. Ancaman sanksi seperti ini lebih terlihat lebih aneh lagi. Bagaimana bisa kita dilarang untuk mengambil dana untuk kegiatan kemahasiswaan dari SPP/DPP yang tiap semesternya kita bayar sebesar Rp. 1,5 – 1,8 juta dan Rp. 100 ribu untuk membayar ikoma. Apalagi jika kita melihat UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang disahkan langsung oleh Presiden Republik Indonesia yang terdapat pada pasal 77 ayat (4) yang berbunyi “Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi kemahasiswaan.” Apakah tindakan birokrasi dengan memberikan sanksi tidak diberikannya dana kegiatan himpunan dan tidak memberikan izin peminjaman tempat telah melanggar Undang – undang nomor 12 tahun 2012 tersebut ?  Bukankah kita harus patuh terhadap Undang – undang ?

Seharusnya birokrasi mampu mengambil keputusan yang bijak dalam menyikapi pelanggaran – pelanggaran yang terjadi di lapangan selama ini. Apalagi hal ini salah satunya terjadi karena keputusan sepihak dari birokrasi yang tidak disepakati bersama dengan mahasiswa. Dan dalam memberikan sanksi seyogyanya dapat memberikan sanksi yang menimbulkan efek jera tapi tetap menunjukkan kerasionalitasan khalayak umum. Bukan dengan memberikan sanksi yang berpotensi menyalahi undang – undang yang berlaku.  Bentuk – bentuk campur tangan atau intervensi dari birokrasi seharusnya tidak sampai mencampuri urusan rumah tangga himpunan sampai – sampai menyuruh merubah AD/ART dan semacamnya. Hal ini menunjukkan betapa mengototnya birokrasi untuk menutup rapat pintu kebebasan mahasiswa untuk tetap melaksanakan kaderisasi. Lantas apakah yang harus kita lakukan sekarang ini? Apakahi kita lebih memilih diam dan semakin mengunci rapat pintu yang dibangun birokrasi? Ataukah kita bergerak dan berusaha menyingkap (membuka sedikit secara perlahan) pintu yang dibangun birokrasi untuk membuka selebar – lebarnya pintu kebebasan mahasiswa? Lalu melihat kondisi seperti ini hal apa yang akan dilakukan KM ITS ? Kalau saja Wiji Thukul, aktivis ‘98 yang ditangkap dan hilang hingga saat ini berada di tengah – tengah kita , maka ia akan memberikan pesan kepada kita semua : “Hanya ada satu kata, LAWAN !”.

“ Didiklah rakyat dengan organisasi dan Didiklah penguasa dengan perlawanan.”
(Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer) 

“Tunduk tertindas, atau Bangkit Melawan karena Mundur adalah sebuah pengkhianatan” 
(Wiji Thukul)

Angga Firmansyah (tim redaksi LPM 1.0)


*Tulisan ini dimuat di Buletin SUPERMASI EDISI 6 Bulan Januari 2014 UKM LPM 1.0 ITS.

YOU MIGHT ALSO LIKE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram