“Petuah Mbok Tini”

sumber gambar : kaskus.co.id

      Riuh rendah dan kebisingan pusat perkotaan siang tadi membuat pikiranku  tak tenang malam ini. Entah kenapa ada suatu hal yang mengganjal di pori – pori otakku hingga menjadikan otak ini tak mau diajak berkompromi untuk menikmati hidup yang mestinya dapat dinikmati dengan tenang oleh setiap insan.  Malam pun kini telah menyapa semuanya dengan senyuman bulan dan bintang yang ikut melapisi setiap sudut kegelepan di dunia ini. Dan pancaran terang senja tadi sudah berubah seiring kepergian sang surya meninggalkan kehadirannya dari langit berwarna jingga. Awan – awan pun seakan berada di dua persimpangan turut serta mengikuti mentari yang meninggalkan senja atau senantiasa setia mengiringi rembulan. Dan disini aku hanya bisa memandangi setiap partikel – partikel alam semesta yang berjalan dari kejauhan tanpa dikomando oleh apapun dan siapapun kecuali sang maha pencipta yang menggubah alunan sajak jagad raya yang tetap berjalan dalam koridornya masing - masing. Dalam keadaan linglung aku pun termenung bingung mencerna kejadian yang tadi terjadi di hadapan mataku tadi siang.

       Getir, mungkin hal itu yang dirasakan anak dan bapak tadi. Bagaimana tidak ? mereka berdua tak ubahnya seorang binatang yang dipermainkan di depan umum bukan oleh orang lain tetapi oleh orang yang berarti bagi mereka. Orang yang mereka sayangi mempermalukan mereka di khalayak umum tanpa mengerti perasaan sakit di hati mereka. Bagaikan tersayat – sayat hati dan perasaan mereka melihat orang yang dianggapnya seorang malaikat di tengah – tengah keluarga tega melakukan hal serendah itu. Mencaci maki hingga keluar kata – kata umpatan yang tidak seharusnya mengalir dari mulut seorang perempuan yang bernama “ibu”. Alasannya sepele, sang ibu tidak mau diajak pulang anaknya yang setelah pulang sekolah ikut membantu ayahnya bekerja dan pada  saat itu tidak sengaja bertemu dengannya di depan sebuah halte dikarenakan sang ibu yang saat itu bersama – sama teman kantornya yang berdasarkan umpatan yang dilontarkan si ibu terdapat kesimpulan merasa malu ketika teman-temannya tahu bahwa suami dan anaknya adalah seorang pedang asongan yang tiap harinya menjajakan koran dan makanan. Tak ayal apa yang dilakukan sang ibu pun menjadi tontonan semua orang yang secara tidak sengaja berada disitu. Beberapa teman si ibu melerai dan yang lainnya melongo kebingungan, beberapa lagi ada yang tersenyum satir melihat kejadian tersebut. Campur aduk pikiranku pada saat itu, Se-tega itukah manusia zaman sekarang, sebuah kewajaran-kah hal itu dilakukan oleh seorang perempuan bernama “ibu”. Sebagai seorang perempuan-pun aku berpikir, apakah aku akan melakukan hal yang seperti itu kelak? Apalagi yang menjadi permasalahan adalah hal yang klasik yaitu faktor ekonomi dan status sosial. Beginilah manusia. Bahkan hal yang dilakukan binatang-pun lebih manusiawi dari apa yang dilakukan manusia – manusia tadi. Binatang-pun akan berusaha melindungi keluarganya dari ancaman bahaya bukan malah menyakiti atau saling bunuh diantara yang lainnya. 
      Seketika itu juga muncul rasa iba dan aku berusaha mendekat untuk melerai sumber kegaduhan tadi. Langkahku tiba – tiba dihentikan seorang nenek dengan postur agak bungkuk yang tiba – tiba muncul dihadapanku.
     “Mau kemana nduk ?” tanya nenek tadi.

      “Mau melerai mereka mbok, nggak enak dilihat banyak orang” jawabku.

      “Lebih baik ndak usah nduk, nanti juga berhenti sendiri kalau sudah capek, malah kalau kamu kesitu masalahnya tambah panjang, dikira kamu ikut campur urusan mereka.” ujar nenek.

      “Tapi mbok, kasihan anak kecil itu kalau dibiarkan, nggak tega saya melihatnya.”
       
       “Mbok, juga kasihan tapi bagaimana lagi nduk, daripada memperkeruh suasana lebih baik kita menunggu suasana tenang. Memang tidak habis pikir aku melihat ibu – ibu itu. Masak mbok yo karena alasan malu punya suami dan anak yang seorang pedagang asongan, tega sampai mengumpat mereka di depan orang banyak karena anaknya minta pulang bareng.”

       “Iya mbok, saya saja sebagai perempuan sampai nggak sampai kepikiran seperti itu.”

       “Lah itu, kadang perempuan sekarang ini tidak pernah bersyukur, sudah enak hidup di zaman sekarang, kedudukan perempuan dan laki – laki sudah sama, sudah setara, coba hidup di zaman dulu, perempuan cuma pantas hidup di tiga tempat nduk, sumur, dapur, kasur. Sering kali manusia lupa, jika ekonomi berhenti pada uang dan materi, jika derajat manusia berhenti pada status sosial, bukankah manusia telah gagal menjadi seorang manusia ?”

     Betul juga perkataan nenek, kalau saja zaman feodal-kolonialisme dulu, bangsa kita bukan hanya dijajah oleh belanda tetapi tanpa terasa-pun kaum perempuan juga dijajah oleh aturan-aturan feodal terutama di masyarakat jawa yang menganggap perempuan hanya diperbolehkan untuk memasak, berdandan mempercantik diri dan dijadikan selimut dikala tidur. 

   “iya mbok, maklum lah manusia, mereka nggak mikir kalau dulu R.A kartini tidak memperjuangkan kesetaraan gender antara kaum perempuan dan lelaki lewat gerakan emansipasinya pasti hidup kita sekarang nggak akan senyaman ini. Buktinya kita bisa sekolah tinggi dan dilindungi oleh undang – undang lagi.” kataku

        Sambil tersenyum kecil nenek tadi menjawab pertanyaanku.

       “Iya nduk, tapi emansipasi sekarang itu banyak di salah artikan, jika dulu memperjuangkan untuk mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan antara kaum perempuan dan laki – laki hingga untuk melindungi kaum perempuan dari tindakan kekerasan. Lah, sekarang banyak yang mengartikan emansipasi itu semuanya harus sama antara laki – laki dan perempuan. Apa yang dilakukan laki – laki-pun dituntuk juga dilakukan oleh kaum perempuan. Ini yang ngawur dari karakteristik fisik-pun sudah terlihat jelas perbedaan antara lelaki dan perempuan. Dulu, emansipasi perempuan agar kaum perempuan diperbolehkan mengakses pendidikan agar perempuan itu setara kepintarannya dengan lelaki supaya tidak mudah dibodohi yang berujung pada tindakan kekerasan pada kaum hawa. Selain itu perempuan yang nantinya akan menjadi madrasah pertama bagi anak – anaknya yang nantinya orang yang pertama kali mengajari anaknya di lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga. Kalau zaman sekarang semuanya berubah, dengan alasan emansipasi perempuan, apapun yang dikerjakan lelaki boleh dikerjakan oleh perempuan. Pokoknya semuanya harus sama. Kalau dulu ada semboyan “Habis Gelap, Terbitlah Terang”, sekarang sudah bergeser menjadi “Pergi Gelap, Pulang Terang”. Hehehe. “

   “iya, terima kasih atas pencerahannya, mbok.”
   
   “Sama – sama nak, Hidup itu akan indah dan berbahagia apabila dalam kegelapan kita melihat cahaya terang”.”
   
   “Hehehe. Oh iya, kita belum kenalan tadi, kenalkan nama saya ajeng mbok, kalau boleh tau nama mbok siapa ?,”

   “Oh, ajeng nama kamu, nama mbok….Tini .. ... Kartini….”

    Seketika itu aku langsung berpikir,  mbok tini tiba - tiba meninggalkan tempat dimana kita tadi bertemu. Lalu dengan bingung aku memanggil – manggil namanya dengan panik.

     “Mbok Tini…. Mbok Kartini . . .. ”

    “Jeng, Ajeng bangun, kamu lagi ngigau apa. Kok mukamu panik sambil memanggil nama mbok tini… mbok kartini…? Siapa memangnya. ” 

     Suara ibu seketika membuyarkan siluet klise kejadian yang terjadi barusan, oh, ternyata tadi aku cuma mimpi, mendadak pandangan ini mengarah pada kalender yang terpajang di dinding, “Tanggal 21 April 2015. Selamat Hari Kartini, untuk semua perempuan Indonesia” Gumamku sambil tersenyum kecil. "Terima Kasih mbok telah muncul dalam mimpiku"

AF. Surabaya, 21 April 2015. 10:16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram