Sebuah Tanya (?)

       
   Embun pagi tak kuasa menyublim bersama titipan malam yang enggan meninggalkan seisi kegelapan. “Gelap”, bukankah pada hakikatnya dunia dan jagad raya ini bermula dari kegelapan ataukah memang zaman dahulu tidak ada definisi dari kata “gelap” sebelum sang pencipta menghadirkan sang surya untuk menerangi seluruh alam semesta ini. sedangkan gelap sendiri mewakili sebuah frasa kata yang menunjukkan ketiadaan cahaya. Ah, sudahlah mengapa aku berpikir hal yang tidak penting seperti itu (?) Hal itu tadi tak lebih suatu hal yang mengganjal terus menumpuk menjadi sebuah tanya (?). Daripada otak ini dipaksa berpikir hingga sejauh itu lebih baik merebahkan badan di sebuah ruangan kotak yang nyaman jauh dari keramaian jalan raya.

   Maklum, beginilah nasib seorang yang baru merasakan pertama kali bangku perkuliahan. Tenang , nyaman, damai tak perlu bersusah payah menghadapi tahun pertama mengarungi masa perkuliahan ini. Pikirku ini adalah sebuah keputusan yang tepat, memilih memberontak hingga dapat memanjakan diri dan menghindari tugas dari orang – orang yang menyebut dirinya “senior”, Mungkin ruangan – ruangan kosong “gelap”lah yang memenuhi seisi otak mereka (?). Sudahlah, kita sudahi per-tanya (?)-an yang muncul tidak jelas ini. Matahari juga sudah meng-angkasa tak kuasa membentuk sudut 30 derajat, Saatnya bergegas menuju ke kampus untuk menuntut ilmu, bukankah ini tujuan utamaku ke kota ini (?) untuk memenuhi amanah orang tua melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih “tinggi”.

     Dalam perjalanan menuju kampus, teringat apa yang dikatakan temanku kemarin, “Asing” hal itu yang dirasakan temanku yang ngobrol denganku setelah kuliah selesai, aku yang “sok” santai menjawab dengan tenang kan masih ada teman angkatan yang selalu bersama kita. Ah, tapi hal itu mungkin benar dan aku mencoba menutup-nutupi kebenaran itu. Seketika itu, muncul pikiran bahwa kita sangat “asing” di lingkungan sendiri, meskipun punya teman satu angkatan yang lama kelamaan pun akan memikirkan dirinya masing – masing. Kita berbeda dengan yang lain yang saling bertegur sapa ketika bertemu. Oh, mungkinkah kita ini memang tidak cocok dengan habitat seperti ini, sehingga kita sendiri-pun merasa “asing” dan ter”asing”kan di tengah – tengah kerumunan orang – orang yang berada di lingkungan ini.

      Tak terasa perjalananku telah sampai di depan gerbang jurusan. “Sepi” yang terlihat pertama kali saat aku menginjakkan kakiku pagi ini. Mungkin semuanya sudah masuk ke dalam kelas mendengarkan dosen menyampaikan materi. Terlalu pagi-kah aku datang kemari (?). Tentu tidak !, karena jelas semuanya ada alasan melatarbelakangi diriku untuk datang sepagi ini. Mengisi nutrisi tubuh agar dapat menyerap materi pada hari ini . Tujuannya jelas warung “mbok Na” yang berada di kantin jurusan,  tak begitu lama aku sampai ke kantin jurusan langsung saja ku lakukan apa yang ingin kulakukan.

“Mbok, Pesan nasi pecel lauknya telor ceplok dan kopi 1 ya mbok.”

“Iya mas, tunggu sebentar ya.”

     Sambil menunggu pesanan sarapanku tadi, ku coba membolak - membalik lembaran koran yang tergeletak di atas meja. Kubaca sekelebat headline di koran pagi ini “Biaya kuliah mahal, tanggung jawab siapa (?)”. Ya, beginilah nasib bangsa ini, semua morat – marit dan tidak teratur yang terkena imbasnya jelas wong cilik masyarakat biasa seperti kita ini. dari beberapa bagian yang terbaca, ada sebuah kalimat yang cukup menggelitik “Dimanakah mahasiswa, saat harga BBM dan bahan pokok naik (?) ”. Memang benar sih, harusnya mahasiswa bertindak, bagaimana mungkin kaum yang tingkat ekslusifitasnya tinggi berjumlah sekitar 7 % dari total pemuda di negeri ini yang beruntung dapat mengenyam pendidikan hingga ke jenjang pendidikan tinggi hanya berdiam diri duduk manis di warung kopi ataupun di depan televisi.  Seketika timbul pikiran yang menghantui saya, berdosa-kah kita para mahasiswa yang hanya memikirkan diri sendiri padahal uang kuliah kita mayoritas dibiayai oleh rakyat (?). Segera kubuang jauh-jauh per-tanya (?)-an bodoh yang barusan muncul tadi. Tiba-tiba ada seorang yang membuyarkan lamunanku.

“Hei, pagi-pagi melamun saja, sendirian saja (?)”

Ternyata ada pak Mat, karyawan yang setiap harinya bertugas membersihkan jurusan. Seketika itu juga bergegas aku membalas sapaannya.

“iya pak, ini baca koran sambil mau ngopi dan sarapan.”
         
Tidak sebegitu lama mbok Na membawa pesanan yang tadi saya pesan.
         
“Mari pak, sarapan dulu.”
         
“iya monggo-monggo.” Tak seberapa lama pak Mat memulai percakapan.

“Gimana kuliahmu (?), Lancar (?).”
            
“Alhamdulillah pak lancar, tapi akhir-akhir ini ada kegiatan dari senior jadi sering pulang malam agak mengganggu kuliah sih pak,”
            
“Hahahhah, baru sering pulang malam kau sudah mengeluh, mahasiswa zaman sekarang nggak ada rasa syukurnya. Lalu kamu mau hidup dengan nyaman begitu (?), Maunya cuma makan, kuliah, tidur, buang air besar dan seterusnya, begitukah (?) Lalu apa bedanya kamu dengan binatang nak, yang tiap hari kerjanya juga sama seperti itu.”

“iya nggak seperti itu juga sih pak, Tapi mereka itu sudah keterlaluan pak, mending kita nggak ikut satu angkatan sekalian, pak.”

“Apakah benar begitu atau itu cuma alasan pembenaran kamu saja, karena kamu ingin kuliah dengan tenang, memilih menjadi pengecut yang lari dari masalah bukan menghadapi dan menyelesaikan masalah. Ingat nak ini baru langkah awal kamu sebelum terjun ke masyarakat kalau dalam tahap ini saja kamu tidak bisa melewati, saya pastikan kamu akan lebih kesulitan lagi ketika kamu terjun ke masyarakat.”
“Kita sebenarnya mau belajar pak, tapi mau apa lagi mereka itu juga nggak ngerti apa-apa. nggak bisa ngasih teladan, nggak bisa ngasih contoh. ”
           
 “Lah kan begitu, apa tadi saya bilang hal yang kamu bicarakan tadi cuma alasan pembenaran untuk menutupi rasa takutmu tadi. Kamu belum mengerti semua saja sudah berani memberikan kesimpulan, masih banyak premis yang belum  kamu ketahui tapi kamu sudah menentukan konklusinya, cobalah adil Nak, bersetialah pada kata hati. Jangan hanya mengedepankan ego dalam menilai setiap permasalahan. Karena ketika yang kamu kedepankan adalah ego, yang terlihat di pandanganmu hanya “Gelap”, “Kegelapan”, “Buruk”, “Hitam” dan “Hitam” meskipun disitu terdapat satu titik “Putih” pun kamu pasti menganggapnya sama hitamnya, padahal ketika titik “putih” itu kamu amati dan kamu yakini itu adalah sebuah putih maka akan timbul putih – putih yang lain yang akan menjadikan “hitam” tadi tidak terlihat lagi. ketika kamu menilai semuanya “hitam” yang kamu dapatkan juga hanyalah “hitam” karena putih itu lambang kesucian yang hanya dapat di lihat oleh orang – orang yang mau membuka pikirannya.”

“Tapi saya rasa mereka hanya melakukan kegiatan sebagai ajang balas dendam pak.”

“Terserah kamu mau menilai apa, tapi yang pasti senior-mu pernah mengalami masa seperti kamu alami saat ini, yang membedakan adalah mereka pada saat itu berani mengambil langkah untuk menghadapi masalah dan berhasil menyelesaikannya sedangkan kamu (?). Hanya protes sana-sini, menilai di awal tanpa tahu baik dan buruk. Menjadi pengecut dan menghindari permasalahan, memilih hidup nyaman, damai dan tentram. Berkokok seperti ayam tanpa tujuan yang jelas, merengek seperti anak TK bahkan seperti bayi yang meminta susu dan hanya berani berlindung dibalik kekuatan orang tuanya. Bukan memanusiakan dirinya sendiri sebagai manusia apalagi sebagai mahasiswa.”
“Bahkan hewan seperti cacing-pun akan menggeliat ketika dia merasakan panas, sedangkan kamu hanya berdiam diri di kosan dengan kondisi yang santai begitu (?), apakah kamu tidak merasa lebih rendah dari seekor cacing jika kamu hanya memilih untuk tidak melakukan apa-apa.”

“Saya tidak lari dari masalah pak, Cuma saya akan menghadapi masalah lainnya di luar sana.”

“Logika yang aneh, coba kamu pikir, untuk menyelesaikan permasalahan yang kecil di sekitar “habitat” mu saja tidak berani kamu hadapi dan memilih lari, Lantas kamu mau menghadapi masalah lainnya di luar sana, Bukankah masalah diluar sana jauh lebih besar, kan aneh dengan kondisi kamu sekarang saja tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada di sekitar kamu, yang ada kamu malah tidak berdaya menghadapi itu, bukan (?)”

“Bukankah langkah yang besar itu dimulai dari satu langkah kecil, pak?”

“Iya sepakat, tapi kamu harus dapat mengukur kemampuan kamu sampai sejauh apa? Bekal kamu sudah cukup belum untuk melakukan itu, kecukupan itu bukan hanya dilihat dari diri kamu sendiri tapi sejauh apa pengalaman yang sudah kamu peroleh dalam menghadapi jalan panjang kehidupan. Coba kamu lihat kopi yang di depanmu ini yang saya lihat kamu hanya memandang permasalahan hanya di atas permukaan cangkir kopi ini,  Berlakulah adil nak, pahami semua hal itu hingga menuju titik ke dalaman isi kalau perlu sampai dasar cangkir kopi ini, hingga kamu benar – benar tahu seluruh isinya. Setelah itu baru kamu boleh buat penilaian, pikirkan, lakukan. ”

Seketika itu kulihat jam tangan ku sudah menunjukkan waktu kuliah akan segera dimulai. Saat itu aku meminta mencukupkan pembicaraan yang kata pak mat, hingga ke dasar cangkir kopi ini.
“Pak, maaf saya mau kuliah dulu. Terima kasih atas pencerahannya pak. Kapan – kapan kayaknya bisa dilanjut lagi pembicaraan kita kali ini.”

           “iya Nak kapanpun itu, pesan saya cuma satu jangan cepat terlalu menyimpulkan ketika kamu belum tahu secara keseluruhan, terkadang yang kamu nilai buruk itu lebih baik dari apa yang kamu pikirkan, pahami semuanya dulu baru kamu berikan penilaian. Bukankah Seorang terpelajar itu harus adil, sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan. Bebaskan pikiranmu,  jangan hanya terkungkung dengan hitam tanpa mau melihat yang putih. Karena seseorang bisa bebas tanpa kebesaran, tapi tak seorangpun bisa besar tanpa kebebasan.”

“Iya pak, akan saya renungkan kembali kok.”

Setelah itu aku pun bergegas mengeluarkan beberapai lembar uang untuk membayar makanan dan minuman yang tadi sudah dipesan dan berjalan menuju ke ruang kelas.

Dan di alam pikirku timbul sebuah tanya “Apakah benar yang selama ini aku pikirkan ?”.
                                                                                                        
                                                 Bersama keheningan dan kegelapan jagad raya                                                                                                                                                                        Surabaya, 2 April 2015, 
                                                                                               Angga Firmansyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram