Siluet Dialektika

sumber gambar: google.com
Malam, malam tak selau buruk. Kehidupan malam, orang memberikan stigma untuk kehidupan malam. Tidak adil. Seorang terpelajar, tidak akan begitu saja mengikuti mainstream yang ada. Percaya kau, bahkan malam dapat memberikan suatu pencerahan? Bahkan malam punya manfaat, bagi mereka yang mau melihat lebih dalam.

Suatu malam, tak jauh dari suatu peradaban modern, poros peradaban, kampus. Di saat semua orang tertidur pulas. Mengehela napas lega seharian beraktivitas. “Ini waktunya istirahat, jam biologis.” Ucap seorang yang telah menelentangkan di kasur yang empuk nan memanjakan. Hal berbeda dengan seorang yang lain. Insomnia, tidak. Dia tak bisa tidur, gelisah. Sesuatu mengganjal pikirannya. Keluar, mencari udara malam yang “segar”, suatu pilihan yang diambil.

Mau kemanakah malam larut seperti ini? Melepas suatu kegelisahan tidak lah cukup hanya dengan keluar mencari udara segar. Butuh tempat untuk mencurahkan semua resah gelisah. “Aku butuh teman.” Malam-malam begini, dimana akan kau dapatkan teman? Kebanyakan manusia-manusia itu telah lelah dan mengistirahatkan raga fananya. Dari kejauhan tampak sebuah warung kopi. “Mungkin aku bisa menemukan teman disana.” Bergulat dengan udara malam, memang bukan suatu hal yang biasa. Ternyata warung itu pun tak cukup ramai. Tampak 2 orang duduk agak berjauhan. Rupanya mereka tak saling kenal. Dipesannya segelas teh hangat tuk hangatkan perut.

Dipandangnya seorang penikmat malam, dengan asap mengepul dan secangkir kopi menemani. Seorang lagi asyik dengan pertandingan bola yang sedang berlangsung. “Akan kucoba dengan penikmat malam ini,” batin seorang anak manusia yang dilanda gundah gulana.

“Mas, sering kesini ya?”

“Nggak juga, lagi pengen ngopi aja.”

“Masih kuliah mas?”

“Lumayan, semester 9, kau?”

“Saya baru masuk tahun ini mas, mahasiswa baru.”

“Owh, baru mahasiswa, jarang ada anak baru mahasiswa keluar malam. Biasanya energi mereka telah habis untuk kuliah dan tugas.”

“Benar mas, tugas kuliah dan tugas dari senior.”

Penikmat malam itu hanya tersenyum, senyum satir. Mungkin teringat saat dia baru mahasiswa. Seperti tertarik pusaran kenangan yang memikat.

“Lantas kau sendiri?”

“Aku tak mau mengikuti apa kata senior mas. Mereka pikir mereka siapa, bertindak sewenang-wenang bak penguasa. Hanya lelah yang aku dan teman-temanku dapatkan.”

“Mahaciwa, kalian ini mahaciwa.”

“Maksud mas seperti apa?”

“Manja. Apa kalian pikir hidup ini hanya ongkang-ongkang kaki? Hidup ini penderitaan dan perjuangan.”

“Aku tidak percaya itu mas, hidup ini mencari apa yang disebut kebahagiaan.”

“Memanjakan badan dan pikiran bukanlah kebahagiaan. Itu pengingkaran. Akan ada masa dimana badan dan pikiran kita beristirahat. Mati. Tidak di hidup ini.”

“Tapi setiap manusia mempunyai batas mas. Tidak adil saat kita memforsir badan dan pikiran ini.”

“Kau benar, manusia memang mempunyai batas. Tapi manusia juga bisa menembus batas itu. Dan membuat batas yang lebih baik, lebih tinggi. Saat batas yang baru sudah tak sesuai, sudah rendah, manusia dapat menembus batas itu lagi dan membuat batas yang lebih baik lagi dan lebih tinggi lagi. Kau tidak akan hidup senyaman sekarang jika para pendahulu kita tidak menembus batas mereka dan membuat batas yang lebih tinggi. Dan kau bisa menembus batasmu jika kau tak manjakan badan dan pikiranmu.”

“Setiap orang kan berbeda-beda mas. Ada yang mampu juga ada yang tak mampu. Tergantung kemampuan masing-masing mas.”

“Dan kau menerima menjadi orang yang lemah? Menjadi orang yang tak berdaya? Menjadi orang yang tak berguna? Kalau memang begitu, bahkan kematianmu lebih baik daripada hidupmu.”

“Aku akan berkembang dengan caraku sendiri mas.”

“Itu terserah kau, hidup hidupmu, kau yang menjalani.”

“Aku benar-benar tidak mendapatkan  apa-apa dari seniorku mas.”

“Cobalah melihat lebih dalam, lihatlah sampai sumsum tulang yang paling dalam, jangan hanya sampai kulitnya.”

“Mas, misalkan ada seorang penjual makanan, dan tampak makanan itu tidak enak, dari tampilannya saja mas, orang tidak akan membeli mas. Aku pikir seperti itulah analoginya. Hanya keburukan yang aku lihat mas.”

“Hanya keburukan yang kau lihat. Apa itu juga berarti keburukan juga yang kau rasakan, kau dapatkan? Tidak adil jika kau hanya melihat makanan lantas kau mencapnya tidak enak. Bukankah tidak adil jika kita hanya menilai buku dari covernya? Kalau kau benar-benar seorang mahasiswa, maka kau harus bersikap adil, sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Karena mahasiswa adalah seorang yang terpelajar. Habiskan dulu makanan itu, baru kau boleh menilainya. Baca sampai tuntas buku itu baru kau dapat menilainya.”

“Tapi mas, sungguh mengganggu kuliah semua tugas senior itu. Pengaderan ini benar-benar mengganggu kuliah mas!”

“Tujuanku ke kampus hanya satu. Belajar.”

“Nah kan, pengaderan itu benar-benar mengganggu waktu belajar kami mas.”

“Jangan sempit memandang sesuatu, bebaskan pikiranmu. Apa kau pikir belajar itu hanya kuliah? Hanya akademik? Banyak hal yang dapat kau pelajari di kampus. Tidak hanya kuliah. Kau butuh lebih dari akademik untuk dapat hidup. Kuliah itu urusan masing-masing, tanggung jawab masing-masing, tak perlu dibahas. Kita ini hidup bersosial, bermasyarakat, makanya kita harus bisa berguna untuk orang lain. Renungkanlah. Aku duluan.”

“Oke, terima kasih mas, mungkin lain kali kita bisa ngobrol lagi.”

“Gak masalah.”


Donny M.V

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram