Petite Historie: Pers Mahasiswa, Berbincang Tentang Persma di Bumi Indonesia

   Materi Pertama Kaderisasi LPM 1.0 ITS.


          Mahasiswa adalah sebuah entitas yang melekat kepada orang – orang yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Tidakkah salah kaum yang mengatasnamakan dirinya kaum intelektual ini menjadi sebuah kelas baru dalam sistem sosial masyarakat yang kini di identikkan menjadi sebuah jembatan penghubung antara pemerintah dan rakyat. Menilik dari sejarah bangsa kita, peran mahasiswa dan pemuda memilik sebuah kekuatan dan peranan penting dalam dinamika perkembangan dan pembangunan bangsa Indonesia dimulai dari masa kolonial hingga yang terjadi pada detik ini. Pers maupun jurnalistik merupakan salah satu alat perjuangan yang sangat penting dan telah digunakan dalam perjuangan/pergerakan para pendahulu kita. Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang pers dan sejarah pers mahasiswa di negeri kita,  kelahiran pers di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari semangat perjuangan dan sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia merebut sebuah kebebasan yang bernama ‘kemerdekaan’. 
        Tidak seperti di belahan dunia lain, pers di Indonesia lahir dengan semangat untuk menentang penindasan dan penjajahan. Dimulai pada Januari 1907, surat kabar pertama kali didirikan oleh Raden Tirto Adhi Soeryo yang bernama Medan Prijaji. Kehadiran Medan Prijaji ini menjadi sebuah tonggak awal dijadikannya pers sebagai alat juang pergerakan kemerdekaan. Medan Prijaji merupakan surat kabar berbahasa melayu (Bahasa Indonesia) pertama yang terbit dengan format mingguan tiap Hari Jum’at di Bandung pada tahun 1907 hingga 1912. Mengangkat kasus-kasus yang menimpa rakyat miskin, membedah peraturan hukum Hindia Belanda sehingga kalangan pribumi tidak gampang dijerat dan dibodohi, hingga pemuatan karya sastra yang menyuarakan kepentingan rakyat (dimana tidak jarang diadaptasi dari sebuah kisah nyata) sehingga suara yang digaungkan Medan Prijaji ini melontarkan sebuah kritik keras akan kesewenang – wenangan dan ketidakadilan pemerintahan kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia. Kisah perjuangan dan kehidupan Raden Tirto Adhi Soerjo serta proses dalam pendirian Medan Prijaji pun kemudian secara klise dibukukan dengan diperankan oleh tokoh bernama Minke dalam buku ‘Tetralogi Buru’ yang ditulis oleh sang maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. 
        Apabila kita definisikan secara luas Pers Mahasiswa sebagai sekelompok mahasiswa yang melakukan sebuah praktek jurnalistik, sudah hadir puluhan tahun sebelum universitas-universitas formal di Indonesia berdiri. Hal ini dikarenakan hingga tahun 1920an belum ada Perguruan Tinggi yang didirikan oleh rezim kolonial Hindia Belanda. Bermula dari kalangan pribumi kaya yang mendapatkan berkah dari politik etis dari Belanda sehingga mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di negeri Belanda, beberapa mahasiswa berkumpul dengan dasar persamaan kesadaran dan perjuangan untuk merdeka dari penjajah. Mereka mendirikan organisasi sosial bernama Indische Vereniging pada tahun 1908 dimana organisasi ini kemudian berkembang menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Tokoh yang terkenal dari PI sendiri yaitu Mohammad Hatta, Suran Sjahrir, Ali Sastroamidjojo dan Soetomo. Hal yang diserukan oleh PI dari awal berdirinya yaitu tentang bagaimana melepaskan cengkraman kolonialisme yang menjerat bangsa indonesia kala itu. Ide gagasan dan pemikiran itu lalu diterbitkan dalam surat kabar bernama majalah Hindia Poetra. Hingga Hindia Poetra ini berubah nama menjadi Indonesia Merdeka dengan menerbitkan salah satu edisi khusus yang sampai sekarang dikenal dengan nama Manifesto 1925. Isi Manifesto 1925 sendiri yaitu : (1) Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri; (2) Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun dan; (3) Tanpa persatuan kukuh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sukar dicapai. 
        Dari awal berdirinya hingga akhirnya pucuk pimpinan PI ditangkap oleh Belanda, selebaran – selebaran Hindia Poetra maupun Indonesia Merdeka disebarkan secara sembunyi – sembunyi baik di Belanda maupun di tanah air. Begitu juga di zaman penjajahan Jepang pada periode 1942-194, mahasiswa di tanah air yang hanya berjumlah 387 sampai 637 orang menghadapi represi tinggi dari rezim fasis yang ada. Mereka tetap bergerilya di bawah tanah dengan menyebarkan selebaran-selebaran gelap dan sebagian berkegiatan dengan membentuk kelompok - kelompok diskusi. Hingga Indonesia merdeka dan dalam proses mempertahankan kemerdekaan cara – cara pers/jurnalistik kerap digunakan sebagai alat perjuangan serta mampu meluncurkan propaganda yang dianggap paling efektif dalam membentuk kesadaran masyarakat melawan penindasan dan penjajahan. Di masa kolonialisme Belanda dan Jepang juga terbit beberapa harian atau surat kabar yang muncul seperti Sarotomo, Soeloh Indonesia dan Daulat Ra'jat.
          Hingga pada dekade 1950an, ketika kemerdekaan Indonesia diterima secara luas oleh pihak internasional dan pemerintahan Indonesia mulai berlangsung cukup stabil menjaga kedaulatannya, maka berdirilah (atau menasionalisasi) pula Perguruan Tinggi milik Indonesia yang akan mendorong tumbuhnya kembali organisasi-organisasi mahasiswa, termasuk pers mahasiswa (Persma). Dilanjutkan dengan konsolidasi maupun perkumpulan – perkumpulan antar berbagai organisasi Persma yang berdomisili dibawah fakultas ataupun kampus dalam negeri hingga menghasilkan organisasi yang menghimpun pers/jurnalis mahasiswa yang ada. Tepatnya pada konferensi bagi Pers Mahasiwa Indonesia I, diprakarsailah organisasi menghimpun kegiatan jurnalis dan pers dibentuk. Sehingga didirikanlah Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dengan diketuai T Yacob dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) dengan diketuai Nugroho Notosusanto. Selanjutnya pada 16-19 Juli 1958 dilaksanakan Konferensi Pers Mahasiswa II yang menghasilkan peleburan IWMI dan SPMI menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Hal ini disebabkan bahwa peserta konferensi memandang bahwa perbedaan antara kegiatan perusahaan pers mahasiswa dan dan kegiatan kewartawanan sulit dibedakan dan dipisahkan sehingga lebih baik disatukan.
            Di era demokrasi terpimpin, Persma mengalami situasi dilematis dipaksa mencantumkan MANIPOL USDEK dalam dasar organisasinya dan bagi media Pers yang menolak mencantuman akan mengalami pemberangusan. IPMI sebagai lembaga yang Independen mengalami krisis eksistensi karena dalam tubuh IPMI sendiri terdapat kalangan yang menginginkan tetap independen, menyuarakan aspirasi rakyat dan ada yang mengarah ke pola partisan (memihak parpol/kelompok tertentu). Pada akhirnya berpuncak dan mengguncang rezim Demokrasi Terpimpin dengan meletusnya peristiwa G30S. Semua surat kabar dilarang terbit kecuali Berita Yudha milik Angkatan Darat. Peristiwa G30S dan propaganda Angkatan Darat di bawah Soeharto kemudian berhasil menyeret IPMI sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia untuk terlibat kampanye secara penuh dalam usaha pelenyapan demokrasi terpimpin.
          Di era orde baru, langkah yang diambil IPMI sebelumnya untuk membantu TNI-AD menggulingkan rezim orde lama dan digantikan dengan rezim orde baru harus dibayar mahal dengan pengekangan kebebasan akademik dan kebebasan berorganisasi dibawah rezim yang baru. Sampai mencapai titik puncak pada peristiwa Malapetaka 15 Januari (MALARI) pada tahun 1974 dimana demonstrasi memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei, berujung pada kerusuhan massal dan penangkapan mahasiswa. Media massa baik umum maupun media Persma juga terkena dampak negatif dari peristiwa Malari ini. Pada hari pertama meletusnya Malari dilakukanlah pembredelan terhadap Harian Nusantara dan Mahasiswa Indonesia. Kemudian pada 21 Januari 1974 Harian KAMI dibredel bersama dengan Indonesia Raya, Abadi, dan The Jakarta Times. Dua hari kemudian tepatnya pada 23 Januari 1974 giliran Pedoman dan Ekspress yang dibredel. Pembredelan itu dilakukan dengan pencabutan Surat Ijin Terbit dengan dalih karena media yang bersangkutan terus melakukan provokasi-provokasi yang mengganggu ketertiban dan keamanan. Pada Tahun 1987 hingga 1992 dimulai perjuangan – perjuangan mahasiswa untuk melawan pemerintah yang mengalami kondisi kontraproduktif. 
         Perjuangan mahasiswa termasuk mendorong perjuangan Pers Mahasiswa yang ditandai dengan semakin banyaknya penerbitan ilegal, penyebaran terbitan persma secara meluas dengan diam-diam, bahkan pendiskusian media-media mahasiswa tersebut dalam kelompok-kelompok diskusi rahasia dari kalangan mahasiswa. Tak pelak lagi gelombang aspirasi dan akumulasi persoalan yang digagas oleh para aktivis pers mahasiswa mulai muncul dan mewarnai berbagai forum pertemuan aktivis pers mahasiswa sehingga berpuncak pada didirikannya Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada 15 Oktober 1992. Meski begitu Pasca pendirian PPMI, pembredelan terhadap Persma kian sering dilancarkan. Namun jurnalis – jurnalis muda itu tak kenal lelah berjuang. Berujung pada tahun 1998 banyak gerakan mahasiswa baik secara langsung melalui aksi (demonstrasi) maupun melalui propaganda pers, perjuangan mahasiswa yang muncul semakin meningkat dengan mengecam praktek Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) serta menuntut dilaksanakannya reformasi terhadap Orde Baru hingga mencapai titik kulminasi dengan tumbangnya era Orde Baru ditandai dengan pengunduran diri Presiden Soeharto. 
Sampai hari ini, pasca jatuhnya era Orde Baru atau yang disebut dengan era Reformasi, yakni masa yang menjunjung tinggi kebebasan ekspresi dan berpendapat, Pers Mahasiswa masih hidup dan tumbuh menggeliat melalui kegiatan – kegiatan  jurnalistik maupun literasinya di sudut – sudut kampus negeri ini. 
Karena menulis adalah bekerja kepada keabadian.
Catatan Kaki:
MANIPOL USDEK : Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

Oleh:
Angga Firmansyah
Mahasiswa Jurusan Matematika ITS 2011
Tim Redaksi Lpm Satu Kosong 2013/2014
Tim Mentor Lpm Satu Kosong 2015/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram