Perempuan Kembang Jepun : Romantika Pelacuran Penjajahan zaman Jepang di Surabaya.

Judul Buku       : Perempuan Kembang Jepun
Penulis              : Lang Fang
Penerbit            : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit     : 2006
Tebal                : 288 hlm, 20 cm
ISBN                : 978-979-22-2404-7

“Sejarah Pelacuran adalah sejarah bisnis paling tua dalam kebudayaan umat manusia.”


     Surabaya, kota ini tidak pernah lepas dari hingar bingar sejarah bangsa indonesia. Dikenal sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan negeri Hindia-Belanda selain Sunda Kelapa. Kota Surabaya memiliki magnet tersendiri untuk dikuak sisi lainnya, bukan hanya dalam hal perdagangannya tapi juga kebudayaan yang terbentuk dengan sendirinya dari masa kolonialisme Belanda hingga Jepang. Dengan berlatar tempat kota Surabaya pada tahun 1940-an di akhir masa penjajahan Belanda dan dimulainya era penjajahan Jepang, Novel “Perempuan Kembang Jepun” mengemas cerita yang terjadi di tempat yang saat ini kita kenal dengan nama Kembang Jepun. Kembang Jepun sendiri merupakan nama daerah pertokoan dan tempat hiburan maupun klub – klub malam yang menjadi tempat perkampungan orang – orang cina yang ada di kota Surabaya. Nama Kembang Jepun sendiri berasal dari kata kembang yang berarti bunga dan jepun yaitu sebutan para pribumi untuk orang jepang sehingga memiliki arti ”Bunganya Jepang”. Mungkin dikarenakan di tempat inilah para serdadu jepang menikmati hiburan gadis – gadis tawanan perang Jepang atau Jugun Ianfu sebagai pemuas nafsu selama masa perang bagi tentara Jepang. Tempat para binatang – binatang purba saling menikmati kenikmatan duniawi dalam bingkai pelacuran.
      Dimulai dengan cerita seorang wanita tua pengurus panti asuhan yang bernama Lestari yang tinggal bersama ayahnya yang sudah renta yang tinggal menunggu ajalnya bernama Sujono. Dimasa terakhir hidup Sujono sering mengigau nama Matsumi, nama yang begitu terasa sangat dekat dengan dirinya di masa lalu. Tetapi ayahnya sama sekali tidak pernah menceritakan apapun tentang Matsumi selama masa hidupnya. Dan kejadian tak terduga-pun terjadi saat pertemuan dengan Ibu angkat dari Higashi orang jepang yang menjadi suami Maya, anak angkat Lestari. Pertemuan itupun menjadi awal pembuka romantika yang terjadi pada novel ini. Perempuan itu bernama Matsumi, ibu kandungnya. Nama yang setiap kali di igaukan ayahnya ketika tidur di hari tuanya. Orang yang meninggalkannya semasa kecil dikarenakan ketidakstabilan negara yang baru saja merdeka. Perempuan Jepang yang berasal dari Kyoto yang berprofesi sebagai Geisha di negeri sakura yang dikirim ke Indonesia sebagai wanita penghibur Sosho (setingkat mayor jendral) Kobayashi pada masa perang dunia II. Hingga pertemuannya dengan lelaki pribumi bernama Sujono, tukang angkat di toko kelontong Babah Oen yang sudah memiliki 1 istri dan 1 anak yang menghancurkan kehidupan glamournya menjadi seorang Jugun Ianfu kelas atas yang hanya melayani pejabat – pejabat jepang. Kisah masa lalu pun mengalir bak diorama yang melengkapi satu persatu potongan cerita kelabu baik hidup Matsumi maupun Lestari. Yang bagi keduanya kisah pilu tersebut harus dibumihanguskan dalam ingatan mereka masing – masing. Bukankah Waktu adalah teman yang paling baik untuk melupakan? Sembari menikmati naskah cerita Sang Hidup yang akan terus mengalir hingga ajal kita menjemput.
         Uang dan seks menjadi permasalahan utama yang membelit kehidupan para manusia yang terjerembab dalam kubangan perang dunia pada waktu itu. Pada akhirnya romansa cinta lah yang sedikit memberi arti dalam cerita hitam pekat kehidupan manusia. Siluet terakhir cerita pada novel ini tercipta, kisah pemberian lukisan dari Takeda suami Matsumi di Jepang kepada Lestari. Hingga Lestari memberikan nama pada lukisan tersebut, “Perempuan Kembang Jepun”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram