"Salah satu wabah yang paling cepat menular adalah kecemasan dan ketakutan." Novel Samaran, Dadang Ari Murtono, 2018, Buku Mojok
Isi novel tahun 2018 yang sangat erat kaitannya dengan kondisi hari ini. Samaran, Sebuah cerita dari negeri sederhana yang samar - samar.
Dengan alur cerita yang meski lambat , di akhiri dengan akhir cerita negeri samaran yang terkena kutukan akan musnah ketika melihat manusia yang bisa hidup lagi, dan akhirnya malapetaka terjadi ketika ludruk tobong keliling yg memerankan lakon " sarip tambak oso". Hingga akhirnya kutukan terjadi, warga desa samaran berakhir menari-nari dgn sendirinya di lapangan desa yg dianggap keramat.
Terdapat potongan cerita yg mirip novel eka kurniawan , "Seperti rindu, dendam harus dibayar tuntas" juga.
Dibaca habis dalam waktu 3 jam.
"Sedikit nakal, Banyak Akal." Buku yg sesuai karakteristik buku mojok.
Bacalah Sejenak, Kawan. Hari berganti hari, tahun berganti tahun, bulan berganti bulan. Dan kini ketika Bulan tak selalu purnama, hingga setiap isi semesta alam ini terus menerus bergerak begitu juga beserta zaman yang ikut bergerak. Hingga yang lalu hanya akan menjadi sebuah sekutip memori yang entah pada masa kapan akan terulang kembali. Menjadi sebuah cerita dan narasi yang melingkari sekelumit hidup dan kehidupan kita. Yang sedikit banyak senantiasa ikut membentuk diri kita pada masa sekarang. “Sejarah selalu berulang untuk dilupakan oleh seseorang yang tak tahu malu”, begitulah pujangga prancis berujar. Tetapi tidak dengan kita, Sejarah saat itu akan menjadi sebuah kesan yang selalu terpatri dalam benak dan isi kepala kita kawan. Dan memang benar kawan, energi apapun yang berhubungan dengan teman akan selalu menguras rasa rindu, setidaknya memulangkan perasaan tanpa dihantui sepi. Karena kita adalah kesabaran yang dianiaya sebab tak bisa untuk dimusnahkan. Kita akan selalu merindukan masa itu, sekalipun tidak dapat memutar waktu kembali kepada masa itu. Seperti sehabis hujan kita akan selalu yakin akan adanya pelangi dibalik awan – awan yang lelah menangis itu. Meskipun mungkin saja ia tak hadir ditengah – tengah kita.
Bacalah Sejenak, Kawan, bukan untuk terus mengingat akan masa lalu, atau terpaku terus menerus menatap pada masa depan. Tetapi entah kenapa, cerita itu tak lagi sama. Mungkin karena zaman sudah berubah dan era telah berganti dengan yang baru. Masihkah kita masih seperti yang dulu kawan? Semuanya terasa mesra tapi kosong. Meresapi belaian angin yang menjadi dingin. “Kita adalah akumulasi dari masa lalu,” kata Chairul Tanjung. PADAMU HIMATIKA lah yang mempertemukan kita di masa lalu, yang membuat sebuah siklus, dipaksa, terpaksa hingga menjadi terbiasa. Mungkin terdengar absurd. Seperti sebuah retorika yang didengungkan berulang – ulang. Sebab itulah alasan mengapa kita merasakan akan sesuatu hal yang sama. Menjadikan saling mengerti apalah arti sebuah kebersamaan dan persaudaraan dalam sebuah bingkai bernama “angkatan”. Hingga kita tafsirkan dengan begitu sederhana, aku, kamu dan kita adalah kawan yang akan saling membantu. Begitulah, bukankah kita sungguh begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta [*] dan kebersamaan ?
Sekali Lagi ! Bacalah Sejenak, Kawan. Narasi dalam kampus telah usai, kawan. Sekalipun terdapat beberapa orang yang tengah berjuang menyelesaikan. Sekarang dihadapan kita terbentang hidup yang begitu terjal dan panjang kawan, kehidupan pasca kampus begitu banyak orang menyebutnya. Hidup adalah penderitaan kata buddha, dan manusia tidak bisa terbebas daripada itu [*]. Pada akhirnya manusialah yang menentukan jalan hidupnya mengeluh akan penderitaan atau menikmati penderitaan. Ada orang menghabiskan waktunya bermain judi. Ada orang menghabiskan waktunya melintasi alam. Ada orang yang menghabiskan waktunya mencari hiburan. Tapi aku aku mau menghabiskan waktuku bersama sama seperti kala itu, kawanku. Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya - tanya tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu [*].
Bacalah Sejenak, Kawan ! Haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram, wajah - wajah yang kita kenal berbicara dengan bahasa yang sama sekali tidak kita mengerti seperti malam itu. Malam yang mengantarkan kita menjadi manusia – manusia baru. Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa. Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. apakah kau masih seperti dahulu? Kini kita hanya bisa bermesraan dengan kenangan tepat pada tanggal ini kawan. Karena kita hanya bisa mengendalikan ingatan dengan proses menghafal tapi tidak dengan kenangan yang senantiasa mengendalikan kita. Makanya ada istilah lupa ingatan tapi tidak ada istilah lupa kenangan. Karena kenangan telah jauh melampaui ingatan. Dimanapun kalian berpijak kawan – kawan. Di lembah perjuangannya masing – masing tetaplah berjaya selayaknya Rajawali yang senantiasa terbang tinggi tanpa melupakan tanah yang biasa kita injak, tanah yang biasa kita pijak. Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak pernah kehilangan apa-apa [*].
Berjaya bersama kita, bersama MENARA’11.
Selamat Ulang Tahun ke-4, MENARA’11. MATEMATIKA ANGKATAN BERSAUDARA 2011.
Selamat berjuang dalam realita hidup dan Teruslah berjaya, Kawan – kawan.
Pada 25 MEI 2016
Dari pinggir ibukota, Tangerang, Banten
[*] Puisi terakhir Soe Hok Gie
Tuhan maafkan aku, disini tidak ada warung kopi, yang ada hanyalah kerumunan orang – orang lalu lalang yang sibuk sekali. Sibuk bekerja, mencari uang katanya, berusaha memenuhi kehidupan hidupnya imbuhnya, yang ada malah menumpuk uang dan harta begitulah menurut dia alasannya. Maafkan aku, Tuhan. Disini tidak ada warung Kopi. Yang ada hanyalah bangunan – bangunan megah dan gedung – gedung tinggi. Bangunan – bangunan yang tak lagi tertata rapi, gedung – gedung menyeruduk menjulang tinggi, tinggi sekali. Lalu bagaimana aku bisa tetap menikmati setiap sesapan kopiku hingga ke dasar cangkir, Tuhan !
Maafkan aku Tuhan, disini tidak ada warung kopi ! Lantas bagaimana aku bisa menikmati setiap nikmat yang engkau turunkan ke bumi ini lewat sebatang kretek. Nikmat dari mengulum dan menghisap dalam – dalam setiap kretek yang menjadi salah satu kuasamu, Tuhan ! Maafkan aku, yang tidak pandai mensyukuri nikmatnya kretek yang berasal dari rajangan tembakau yang dicampur dengan cengkeh terbaik yang berasal dari bumi bangsa ini, diselimuti oleh kertas papier dan ditaburi dengan saos kretek yang menjadikan salah satu ciri khas bangsa ini. bangsa yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Ditanam dan di linting dengan tangan – tangan petani indonesia. Yang entah kenapa hal itu yang memberikan rasa nikmat pada sebatang kretek.
Maafkan aku Tuhan, disini tidak ada warung kopi !. Hingga aku tidak bisa duduk manis sambil menikmati secangkir kopi hitam. Tak bisa lagi ku berbincang masalah ringan seputar obrolan warung kopi hingga bicara tentang masalah negeri. Berbicara masalah cerita hari ini hingga masalah politik dan ekonomi. Maafkan Tuhan, kebiasaan bersosialisasi dengan orang lain kini semakin sedikit, Dialektika pikiranku semakin sempit, tetapi entah kenapa hidupku jauh dari kata irit. Maafkan aku Tuhan, mengapa engkau berikan cobaan pada hambamu ini. Belum lagi tidak adanya warung kopi, membuatku tidak bisa ngopi hingga dini hari. Maafkan aku sekali lagi, Tuhan. Yang tidak bisa menikmati satu lagi anugerah nikmatMu. Jangan hukum hambaMu ini apabila belum ngopi hari ini.
Maafkan aku tuhan di sini tidak ada warung kopi ! Hingga terpaksa kunikmati anugerah nikmat yang bersumber dari kopi dan kretekmu di mall – mall dan gedung – gedung bertingkat. Maafkan aku, Tuhanku. Tidak adanya warung kopi, membuatku terbuai dengan dinginnya mall dan bangunan gedung bertingkat. Menikmati kopi di cafe – cafe dan kedai kopi. Begitulah orang – orang disini menyebutnya. Tidak ada lagi warung kopi. Sayangnya disini aku tidak dapat menyandingkan kopi dan kretek. Bukankah mereka sudah berteman sejak lama, lalu sekarang aku memisahkan mereka, Maafkan aku Tuhan, atas tindakan bodoh hambaMu ini.
Tuhan Maafkan aku, disini tidak ada warung kopi ! Walaupun begitu, terdapat rasa was – was dan harap cemas ketika aku menikmati kopi di cafe – cafe dan gedung bertingkat. Ada orang – orang yang tidak suka dengan banyaknya orang yang menjadi penggila kopi sehingga menginginkan bisnis kopi yang menjadi salah satu komoditas utama bangsa ini menjadi sepi pembeli. Dirancanglah berbagai fenomena baru untuk membuat orang – orang menjadi malas minum kopi. Dari kasus pemboman di salah satu gerai kopi milik paman sam yang terjadi di Sarinah, hingga kasus sianida yang dicampur dalam kopi oleh mirna yang menjadi buah bibir dan menjadi perbincangan khalayak ramai negeri ini di media viral. Maafkan mereka Tuhan, yang belum tahu nikmatnya aroma dan rasa biji kopi yang telah diseduh.
Maafkan aku Tuhan, disini tidak ada warung kopi !. Hingga terkadang demi menyandingkan kopi dengan kretek, hambaMu ini terpaksa menyeduh dan mengaduk kopi sendiri. Tidak ada lagi biji kopi hitam yang dipilih dari biji kopi terbaik oleh petani kopi, dipanggang dan digiling hingga menjadi bubuk kopi hitam yang berasal dari kampung halaman. Itu semua karena aku tidak menemukan kopi hitam di cafe – cafe itu. Yang terpampang di menu hanya Americcano,Espresso, Macchiato, coffe latte, Moccacino, Kopi Tubruk hingga Capuccino. Begitulah mereka menyebutnya. Tidak ada Kopi Hitam disitu. Hingga terkadang mereka memberikan filosofi di setiap jenis minuman kopi, seperti filosofi kopi tubruk, kopi tubruk itu kopi yang lugu, kopi yang sederhana. tetapi kalau kita mengenalnya lebih dalam dia sangat memikat. kopi tubruk sama sekali tidak mempedulikan soal penampilan. Membuatnya gampang tinggal diseduh. Capuccino, kopi yang genit. Ketebalan dan tekstur form harus presisi butuh standar penampilan yang tinggi, capuccino harus terlihat seindah mungkin karena capuccino kopi yang cocok untuk orang yang suka keindahan sekaligus kelembutan [*]. Tetapi bagiku yang terbaik tetap kopi hitam karena kopi hitam melambangkan kemurnian tanpa campuran apapun dinikmati dengan pahit maupun manis tetap sama saja memberikan aroma yang tak terlupakan. Kopi hitam melambangkan kepahitan yang harus diterima setiap manusia dalam hidup. Ah, Sudahlah kopi tetaplah kopi, filosofi tersebut hanya buatan manusia. Biarlah manusia yang menikmatinya memberikan filosofi terhadap kopi kesukaannya sendiri. Maafkanlah aku, Tuhan yang telah lancang memberikan filosofi terhadap ciptaanmu. Maafkan aku tuhan ! ibadahku tak lagi khusyuk saat aroma kopi mengganggu indera penciumanku.
Maafkan aku Tuhan, disini tidak ada warung kopi ! hingga tak terasa kopiku tersisa ampas kopi yang tertinggal mengendap di dasar cangkir dan kretek ku malam ini yang dari tadi kukulum dan ku hisap dalam – dalam hingga memenuhi rongga – rongga paru – paru dan otakku, kini tinggal satu batang. Maafkan aku tuhan, hambamu ini yang telah mengubah cara menikmati kopi, karena disini tidak ada lagi warung kopi. Maafkan aku Tuhan, aku tidak bisa menyuguhkan secangkir kopi malam ini.
Tangerang, 15 Mei 2016 | 22:27
[*] Filosofi Kopi, Dee Lestari
(Tulisan ini masuk Highlight Kompasiana)
Judul Buku : Perempuan Kembang Jepun
Penulis : Lang Fang
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2006
Tebal : 288 hlm, 20 cm
ISBN : 978-979-22-2404-7
“Sejarah Pelacuran adalah sejarah bisnis paling tua dalam kebudayaan umat manusia.”
Surabaya, kota ini tidak pernah lepas dari hingar bingar sejarah bangsa indonesia. Dikenal sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan negeri Hindia-Belanda selain Sunda Kelapa. Kota Surabaya memiliki magnet tersendiri untuk dikuak sisi lainnya, bukan hanya dalam hal perdagangannya tapi juga kebudayaan yang terbentuk dengan sendirinya dari masa kolonialisme Belanda hingga Jepang. Dengan berlatar tempat kota Surabaya pada tahun 1940-an di akhir masa penjajahan Belanda dan dimulainya era penjajahan Jepang, Novel “Perempuan Kembang Jepun” mengemas cerita yang terjadi di tempat yang saat ini kita kenal dengan nama Kembang Jepun. Kembang Jepun sendiri merupakan nama daerah pertokoan dan tempat hiburan maupun klub – klub malam yang menjadi tempat perkampungan orang – orang cina yang ada di kota Surabaya. Nama Kembang Jepun sendiri berasal dari kata kembang yang berarti bunga dan jepun yaitu sebutan para pribumi untuk orang jepang sehingga memiliki arti ”Bunganya Jepang”. Mungkin dikarenakan di tempat inilah para serdadu jepang menikmati hiburan gadis – gadis tawanan perang Jepang atau Jugun Ianfu sebagai pemuas nafsu selama masa perang bagi tentara Jepang. Tempat para binatang – binatang purba saling menikmati kenikmatan duniawi dalam bingkai pelacuran.
Dimulai dengan cerita seorang wanita tua pengurus panti asuhan yang bernama Lestari yang tinggal bersama ayahnya yang sudah renta yang tinggal menunggu ajalnya bernama Sujono. Dimasa terakhir hidup Sujono sering mengigau nama Matsumi, nama yang begitu terasa sangat dekat dengan dirinya di masa lalu. Tetapi ayahnya sama sekali tidak pernah menceritakan apapun tentang Matsumi selama masa hidupnya. Dan kejadian tak terduga-pun terjadi saat pertemuan dengan Ibu angkat dari Higashi orang jepang yang menjadi suami Maya, anak angkat Lestari. Pertemuan itupun menjadi awal pembuka romantika yang terjadi pada novel ini. Perempuan itu bernama Matsumi, ibu kandungnya. Nama yang setiap kali di igaukan ayahnya ketika tidur di hari tuanya. Orang yang meninggalkannya semasa kecil dikarenakan ketidakstabilan negara yang baru saja merdeka. Perempuan Jepang yang berasal dari Kyoto yang berprofesi sebagai Geisha di negeri sakura yang dikirim ke Indonesia sebagai wanita penghibur Sosho (setingkat mayor jendral) Kobayashi pada masa perang dunia II. Hingga pertemuannya dengan lelaki pribumi bernama Sujono, tukang angkat di toko kelontong Babah Oen yang sudah memiliki 1 istri dan 1 anak yang menghancurkan kehidupan glamournya menjadi seorang Jugun Ianfu kelas atas yang hanya melayani pejabat – pejabat jepang. Kisah masa lalu pun mengalir bak diorama yang melengkapi satu persatu potongan cerita kelabu baik hidup Matsumi maupun Lestari. Yang bagi keduanya kisah pilu tersebut harus dibumihanguskan dalam ingatan mereka masing – masing. Bukankah Waktu adalah teman yang paling baik untuk melupakan? Sembari menikmati naskah cerita Sang Hidup yang akan terus mengalir hingga ajal kita menjemput.
Uang dan seks menjadi permasalahan utama yang membelit kehidupan para manusia yang terjerembab dalam kubangan perang dunia pada waktu itu. Pada akhirnya romansa cinta lah yang sedikit memberi arti dalam cerita hitam pekat kehidupan manusia. Siluet terakhir cerita pada novel ini tercipta, kisah pemberian lukisan dari Takeda suami Matsumi di Jepang kepada Lestari. Hingga Lestari memberikan nama pada lukisan tersebut, “Perempuan Kembang Jepun”.
About Me
Taylor Wong
Architecture Designer
The Japanese call it Hanakotoba, and King Charles II brought it to Sweden from Persia in the 17th century. Read More
Popular Posts
-
Bacalah Sejenak, Kawan. Hari berganti hari, tahun berganti tahun, bulan berganti bulan. Dan kini ketika Bulan tak selalu pur...
-
Ditulis oleh seorang penyiar radio swasta, seorang ibu yang tadinya melarang anaknya untuk jadi BONEK, dan tulisan ini wajib dibaca utk ya...
-
Dewasa ini perkembangan dinamika dunia kemahasiswaan di KM ITS mengalami stagnansi kinerja dari setiap elemen KM ITS. Kea...